'' KONFLIK PENGELOLAAN SDP''
BAB I
PENDAHULUAN
Sumberdaya
ikan masih berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja,
dan protein ikan bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk
dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong
peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain
menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil
perikanan. Di satu sisi, peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya ikan
nampak masih sangat besar, sehingga telah memberikan ruang bagi pengembangan
perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara kuantitafi
produksinya mencapai lebih dari 70% total produksi ikan di Indonesia.
Di sisi
lain, kelangkaan dan kerusakan sumberdaya ikan dan habitatnya semakin meluas,
yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada berbagai permasalahan sosial,
ekonomi, dan lingkungan. Menurut data FAO diperkirakan lebih dari 60% stok ikan
dunia telah diekploitasi pada tingkat penuh sampai tingkat rusak (depleted),
dan diantaranya tidak lebih dari 1% yang pulih kembali. Trade-off antara
ekonomi dan konservasi sumberdaya ikan dikhawatirkan akan terus meningkat jika
sumberdaya ini tidak dikelola secara bijaksana, apalagi gairah membangun
perikanan dan kelautan saat ini sedang memuncak. Pertimbangan-pertimbangan
tersebut meliputi pertimbangan biologi, ekonomi, dan sosial sehingga melahirkan
berbagai model pengelolaan perikanan.
Sementara,
dampak dari kebijakanan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya
berbasis pada spesies target (tunggal), telah meninggalkan permasalahan baru
bagi spesies target, spesies ikan lainnya, dan organsime lain yang memiliki
keterkaitan niche dengan jenis tersebut dan lingkungannya. Hal ini menjadi
dasar pembahasan khusus Perikanan Multijenis, yang tentu saja menjadi ciri
perikanan di daerah tropis seperti Indonesia.
Tentu saja,
untuk membangun perikanan secara berkelanjutan perlu kerjasama dari berbagi
pihak untuk tidak menggulangi pengalaman kegagalan pengelolaan perikanan di
Canada, ketika para politisi menyalahkan ahli perikanan karena berbagai temuan
teknologinya, sebaliknya politisi juga dipersalahkan karena kebijakannya yang
terus mendorong ke arah eksploitasi, dan pada gilirannya juga nelayan serta
industri perikanan menjadi bagian dari saling menyalahkan.
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik
adalah sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua
kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu
tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Konflik dapat
berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of
tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau
lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak,
sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain
sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing
masing.
Pengelolaan
sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam
pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan,
alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan
perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau
otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat
dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya
hayati perairan yang terus menerus.
A. Potensi Sumber Daya dan Pemanfaatannya
Indonesia mempunyai wilayah perairan sebesar 5,8 juta
km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial, 2,8 juta km2
perairan nusantara dan 2,7 km2 zona ekonomi ekslusif. Sekitar 70 %
wilayah Indonesia berupa laut dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan garis
pantai sepanjang 81.000 Km. Oleh karena itu sumber daya pantai dan laut yang
dimiliki Indonesia sangat besar baik yang non hayati seperti bahan tambang dan
energi maupun hayati terutama ikan. Potensi sumber daya ikan (SDI) laut
diperkirakan sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah
perairan Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah Zona Ekonomi
Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 1,86 juta ton/tahun.
Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang
dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan
Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di
wilayah perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per-tahun, dengan
rincian 5,14 juta ton per-tahun berasal dari perairan teritorial dan 1,26 juta
ton pertahun berasal dari ZEEI. Mengingat besarnya sumber daya yang ada maka
pantai dan laut dapat dijadikan sumber pangan dan bahan baku industri.
Pemanfaatan sumber daya perikanan laut memungkinkan
terjadi kompetisi baik antara nelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang
(andon). Kompetisi terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap juga
perebutan sumber daya di lokasi wilayah penangkapan (fishing ground).
Hal ini kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan
terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung
pada kemampuan modal dan keterampilan nelayan dalam menggunakaannya. Tidak
semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi penangkapan modern.
Sementara laut sebagai sumber daya milik bersama (common property resources)
tidak memiliki batasan wilayah yang jelas dalam kondisi demikian, sering
terjadi benturan atau konflik diantara para nelayan yang sangat tergantung
secara ekonomis terhadap laut.
Konflik nelayan terjadi diantara kelompok nelayan yang
menggunakan sumber daya alam yang sama dengan penggunaan alat tangkap yang sama
pula atau diantara para nelayan yang menggunakan peralatan tangkap yang berbeda
pada daerah penangkapan yang sama. Konflik seperti demikian yang sering terjadi
perairan utara Jawa Timur.
B. Konflik Antar Nelayan
Pesisir utara Jawa Timur yang membentang dari
Kabupaten Tuban hingga Kabupaten Situbondo juga wilayah pesisir Pulau Madura.
Konflik antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan
terjadi di beberapa daerah. Kasus di perairan Bangkalan dimana dua kelompok
nelayan terlibat bentrok fisik akibat berebut daerah penangkapan ikan.
Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Juli 1995 di perairan Karang jamuang,
Bangkalan utara. Konflik terjadi antara nelayan lokal dengan nelayan Lamongan.
Terjadilah pembakaran perahu-perahu nelayan Lamongan oleh nelayan Bangkalan,
karena menganggap wilayah perairan tersebut adalah milik mereka sejak turun
temurun dan melarang nelayan Lamongan untuk menangkap lagi di perairan mereka.
Kasus serupa terjadi pula di perairan Sidoarjo, dimana bentrok antara nelayan
Pulau Mandangin sampang dengan Nelayan Kisik, Pasuruan yang disebabkan perebutan
lokasi penangkapan udang.
Kasus penggunaan alat tangkap terjadi di Perairan
Probolinggo, Pasuruan dan Lamongan. Di Probolinggo, nelayan asal Kalibuntu,
Kraksan terlibat bentrok dengan nelayan Pulau Gili Ketapang yang disebabkan
penggunaan alat tangkap mini trawl untuk menagkap ikan. Sementara di Pasuruan,
bentrokan terjadi antara nelayan Kecamatan Lekok dengan nelayan Kisik, Kalirejo
Kecamatan Kraton dengan kasus yang sama. Di Lamongan, ratusan nelayan Paciran
menghancurkan fasilitas publik, seperti kantor Camat, Mapolsek, dan Makoramil
karena menganggap Pemkab Lamongan tidak segera mengatasi nelayan yang
menggunakan alat tangkap mini trawl yang telah berlangsung lama. Mereka
beranggapan kehadiran alat tangkap ini telah merusak ekosistem laut.
Konflik antarnelayan di perairan Jawa Timur sebenarnya
telah berlangsung lama, sejak tahun 70-an. Kejadian di Muncar misalnya, berawal
dari kalahnya bersaing antara nelayan tradisional dan nelayan purse seine. Dan
pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga tahun 1980-an. Namun sejak
tahun 1990-an keadaan konflik bergeser tidak hanya antara tradisional dan
nelayan modern seperti kejadian pembakaran purse seine di Masalembu dan
Sumenep, tapi juga antarnelayan tradisional.
C. Jenis Konflik dan Faktor yang Mempengaruhinya
Secara umum konflik antarnelayan dapat dikelompokkan
menjadi 4 (empat) macam, yaitu :
(1) Konflik Kelas
Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal,
yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat.
Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang
dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri,
kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju.
Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang
diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial,
karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding
perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil
tangkapannya akan semakin menurun karena sumber daya ikan yang tersedia
ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.
(2) Konflik Orientasi
Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang
berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional.
Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk
mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan
tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan
lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian
nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumber daya ikan, sehingga mereka
menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
(3) Konflik Agraria
Konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing
ground), biasanya terjadi antarnelayan yang berbeda domisilinya. Konflik
seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah.
(4) Konflik Primordial
Konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan
identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak
kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari
konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.
Keadaan sumber daya di suatu kawasan dipengaruhi oleh
6 (enam) faktor utama, yaitu:
1.
Pranata
pengelolaan sumber daya lokal
2.
Konteks sosial
budaya
3.
Kebijakan Negara
4.
Variable teknologi
5.
Tingkat tekanan
pasar
6.
Tekanan penduduk
Keenam faktor tersebut mempengaruhi secara langsung terhadap keadaan sumber
daya atau yang tidak langsung dengan diperantarai oleh pranata lokal. Upaya
pemerintah yang dilakukan lebih berorientasi pada pertumbuhan dari pada
pemerataaan yang mengedepankan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama.
Hal ini terjadi saat pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri pembangunan Orde
Baru dapat disimak dari:
1.
pola pembangunan
yang sentralistik
2. Negara sangat dominan terhadap masyarakat
3. pembangunan yang diterapkan secara seragam dengan
mengabaikan keanekaragaman atau pluralitas masyarakat dan kebudayaannya
4. pendekatan yang bersifat mobilisasi lebih diutamakan
daripada partisipasi sosial
D. Penyebab Konflik
Terjadinya konflik di masyarakat nelayan disebabkan
salah satunya oleh kondisi kepemilikan bersama sumber daya perikanan laut.
Dalam hal ini keikutsertaan bersifat bebas dan terbuka.
Sementara, Daniel Mohammad Rosyid mengungkapkan ada 4
faktor penting yang menyebabkan terjadinya konflik anatara nelayan,yaitu :
1.
Pertama, jumlah nelayan dengan beragam alat tangkap serta
ukuran kapal telah meningkat.
2.
Kedua, luas wilayah operasi tidak bertambah luas karena
teknologi yang dikuasai tidak berkembang.
3.
Ketiga, telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi
ikan mulai menurun.
4.
Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan
Undang-Undang mengenai otonomi daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan
wilayah perairan laut.
Tiga faktor pertama sebagian dapat disebabkan oleh
krisis ekonomi yang telah menimbulkan pergeseran sektor ketenagakerjaan dari
manufaktur ke perikanan tangkap. Sementara over kapitalisasi operasi perikanan
laut dalam pemanfaatan sumber daya laut bersama, sudah berkurang potensinya. Sedang
faktor keempat berkaitan dengan regulasi yang mengatur pengelolaan laut sebagai
sumber daya bersama.
Dari sisi
kepentingan, konflik di wilayah pantai menjadi sangat tinggi terutama setelah
masuknya masyarakat non lokal yang cenderung memanfaatkan sumber daya pantai
secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan
kepentingan kelompok atau sektor/subsektor lain terutama masyarakat lokal.
Sering terjadi masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu
bersaing.
Sementara Ibrahim Ismail mengidentifikasi konflik
menjadi 2 permasalahan pokok yakni :
1.
Eksternal
2.
Internal.
Konflik terjadi akibat terusiknya kelangsungan usaha masyarakat setempat
karena beroperasinya kapal-kapal besar dari daerah sehingga aktivitas
keseharian nelayan setempat terganggu. Sedang kasus yang diakibatkan faktor
internal adalah konflik penggunaan alat penangkap ikan. Masalah ini yang sering
terjadi dibanyak daerah, dimana alat tradisional akan terlindas oleh nelayan
yang menggunakan alat yang dimodifikasi dan aktif seperti dogol atau cotok.
Konflik tersebut sering kali melibatkan dua kelompok nelayan yang berbeda
teknologi untuk memperebutkan daerah dan target penangkapan yang sama.
Keberadaan UU Otonomi Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah
mengatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut
sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan
kepulauan, sedangkan pemerintah kota/kabupaten berhak mengelola sepertiganya
atau sejauh 4 (empat) mil. Ketentuan itu mencrminkan adanya pergeseran
paradigma pembangunan kelautan (termasuk perikanan) dari pola sentralistik ke
desentralistik.
Namun, konflik antarnelayan makin marak setelah
lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Namun
demikian, karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum
tergambar secara jelas maka timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di
kalangan pemerintah daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari adanya
beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan perijinan di bidang penangkapan
ikan yang diluar kewenangannya. Sementara, sebagian kalangan nelayan
menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu
komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas
kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property
rights) maupun pemanfaatan (economic rights). Fenomena ini menyulut
timbulnya konflik antarnelayan.
Masalah yang mucul dengan adanya pemberian kewenangan
wilayah laut kepada daerah oleh, antara lain:
1.
Tidak sesuai
dengan filosofis laut sebagai perekat dan pemersatu sehingga tidak seharusnya
boleh dibagi-bagi
2.
Secara teknis
akan sulit, karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas memang dapat
digambarkan pada peta, tetapi pada pelaksanaannya (di laut) tidak mungkin
jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir dengan konflik
3.
Pengertian yang
benar mengenai batas dan berbagai implikasinya tidak mudah dipahami, baik oleh
masyarakat umum maupun oleh pejabat.
Interprestasi UU No. 22 Tahun 1999 masih kurang jelas.
Banyak pihak yang mempertanyakan tentang Wilayah otonomi penangkapan ikan,
sementara peraturan pelaksanaan dari UU tersebut belum ada. Sehingga penguasaan
wilayah perairan ditafsirkan sebagai bentuk pengkavlingan laut. Sedang pada
tingkat nelayan telah menimbulkan konflik horisontal yang amat tajam.
Potensi Sumber daya Ikan versus Jumlah Nelayan
Potensi sumber daya ikan yang besar manajemen
perikanan yang menganut asas kehatian-hatian (precautionary approach).
Dengan menetapkan JTB (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) yang berasal dari
perairan territorial dan perairan wilayah serta perairan ZEEI.
Potensi dan JTB di atas dimungkinkan mengalami
perubahan ke arah yang positif, yakni terjadi kenaikan. Asumsi bahwa
potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton pertahun dan JTB
sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka produktifitas nelayan di Indonesia
diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton/orang/tahun atau ekivalen 6,63
kg/orang/hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun). Rendahnya produktifitas
nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan
semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumber daya ikan
bersifat terbuka (open access).
Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu
penyebab nelayan di negara kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu
dilakukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi masalah
ini, terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang merupakan bagian
terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya masih rendah.
Tangkapan Lebih (Over Fishing)
Pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan
di laut mencapai 4,069 juta ton. Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah
mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 juta ton pertahun atau
79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton pertahun. Pemanfaatan tersebut
tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan, di beberapa wilayah
pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Laut Jawa dan Selat Sunda
(171,72 %).
Terjadinya over fishing telah mendorong nelayan yang
biasa menangkap ikan di perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah
penangkapan (fishing ground) lain yang masih potensial. Hal ini apabila tidak
diantisipasi dapat menjadi faktor pendorong timbulnya konflik antara nelayan
pendatang dengan nelayan lokal.
Perilaku/Motivasi
Seperti diketahui bahwa sebagian besar nelayan di
Indonesia baik nelayan perikanan industri maupun nelayan perikanan rakyat masih
terlalu mengejar rente ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Hal ini
mendorong nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan
aspek-aspek kelestarian, meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan
lokal (local wisdom), pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat.
Dampak dari padanya, prinsip-prinsip kanibalisme
sering terjadi di laut dan konflik antarnelayan tidak dapat dihindari. Untuk
itu ke depan, pembangunan perikanan tangkap harus mampu merubah orientasi
nelayan ke arah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumber daya ikan,
guna menjaga kelestarian dan menghindari konflik.
Sosial Ekonomi
Jumlah nelayan kategori miskin pada akhir tahun 2000
diperkirakan mencapai 23.327.228 nelayan. Sumber lain menyebutkan 85
% penduduk di wilayah pantai yang subur dan produktif masih miskin, terutama di
wilayah pantai yang tingkat aksesibilitasnya sangat rendah. Sekitar 60 %
penduduk tinggal dan menggantungkan hidupnya di wilayah pantai dan laut. Lebih
dari 90 % produksi ikan dihasilkan di daerah perairan pantai oleh nelayan tanpa
perahu, perahu motor dan perahu motor tempel.
Sampai saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat
nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat pendidikan mereka rata-rata
rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan, penghasilan tidak menentu, tanpa
jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di rumah yang kurang layak dan
sebagainya.
Disisi lain, mereka pada umumnya konsumtif dan tidak
mempunyai budaya menabung. Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang
demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi. Permasalahan kecil
yang timbul diantara mereka dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan. Oleh
karena itu mereka sangat rentan terhadap konflik, meskipun penyebabnya
seringkali masalah sepele.
E. Upaya
Mengatasi Konflik
Dengan memperhatikan aspek sosial-budaya dan
kepentingan ekonomi masyarakat nelayan, pemikiran-pemikiran mengatasi konlik
perebutan sumber daya perikanan laut tidak mudah dilaksanakan. Prinsip yang
harus dikembangkan untuk menghindari konflik adalah strategi pemanfataan sumber
daya harus mempertimbangkan pendekatan yang menyeluruh tentang jumlah biaya,
keuntungan yang dicapai dari proses eksploitasi. Strategi harus memperhatikan
interaksi positif antara kepentingan ekonomi dan lingkungan.
Pemberdayaan Nelayan
Salah satu pemicu timbulnya konflik antarnelayan
adalah kondisi sosial ekonomi dan motivasi/perilaku yang ada pada masyarakat
nelayan. Untuk itu, agar konflik dapat dihindari maka perlu dilakukan
upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan
motivasi/perilaku ke arah yang lebih positif. Upaya tersebut antara lain dapat
dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment). Diharapkan dengan
kegiatan pemberdayaan yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan maka
konflik antarnelayan dapat dihindari.
Relokasi
Sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang
padat penduduknya dalam hal ini Pantai Utara Jawa Timur. Kondisi ini
menyebabkan perairan di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan
menunjukkan gejala over fishing. Dampak dari padanya, di perairan
tersebut sering terjadi konflik antarnelayan karena perebutan daerah
penangkapan (fishing ground). Oleh karena itu perlu dilakukan pemindahan
(relokasi) armada dari daerah sekitar perairan yang sudah padat tangkap atau
telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan lain yang masih
surplus tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya.
Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan
terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan
Perikanan, sehingga pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara
berkelanjutan dan konflik yang disebabkan karena perebutan daerah penangkapan
dapat dihindari.
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat
Sumber daya ikan dapat mengalami degradasi bahkan
pemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumber daya
ikan merupakan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources).
Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata
pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang
peduli terhadap kelestarian.
Penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan
berbasis masyarakat adalah keharusan, agar pemanfaatan sumber daya ikan dapat
dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Pelibatan masyarakat
secara penuh dalam pemanfaatan sumber daya ikan (perencanaan, pelaksanaan
sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan konservasi) dimaksudkan agar
seluruh stakeholders merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap
kelestarian sumber daya ikan.
Pengembangan Usaha Alternatif
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari
konflik antarnelayan adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang
budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dll. Dengan adanya usaha
alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga
ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan
nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.
Disamping itu, upaya ini dapat juga mengurangi jumlah
nelayan kerena beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih prospektif.
Berkurangnya jumlah nelayan di daerah-daerah yang padat, seperti Pantai Utara
Jawa dan Pantai Timur Sumatera juga merupakan solusi untuk menghindari konflik.
Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan
Selama ini, dalam melakukan usaha penangkapan ikan,
nelayan pada umumnya lebih berorentasi pada jumlah (volume) hasil tangkapan,
dibanding nilai (value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya
inefisiensi (pemborosan) dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan dapat menjadi
pemicu timbulnya konflik.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi
masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu.
Dengan meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan
pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan
ke margin pendapatan.
Pengawasan dan Penegakan Hukum
Pemerintah melalui KepMen Pertanian No. 607 Tahun 1975
jo No. 392 Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah
berupaya agar konflik antarnelayan dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut
menjelaskan tentang daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur
Penangkapan.
Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap
keputusan tersebut di atas dapat menghindari terjadinya konflik antarnelayan.
Penegakkan aturan hukum yang melarang penggunaan teknologi penangkapan yang
merusak lingkungan, yang juga dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan meningkatkan
kesenjangan pendapatan diantara kelompok nelayan. Penegakan hukum harus
dibarengi dengan pengawasan yang ketat, bilamana terjadi pelanggaran peraturan
harus ditindak tegas, tentunya aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan
ini harus jelas terlebih dulu, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
BAB III
KESIMPULAN
Sumber daya kawasan pesisir dan laut termasuk obyek
strategis yang menjadi ajang perebutan kepentingan. Konflik di perkirakan masih
akan terus berlangsung. Secara struktural, nelayan di Indonesia rentan terhadap
konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar
konflik antarnelayan dapat dihindari. Berbagai sumbangan pemikiran yang ada
masih perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan diperoleh solusi yang
lebih tepat dan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam
pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
DAFTAR
PUSTAKA
Suboko,
B. 2000. Industri Perikanan, Pengelolaan sumber daya Ikan dalam Perspektif
Global. Makalah dalam Seminar Nasional Perikanan, Himpunan Mahasiswa Perikanan
Indonesia Wilayah III di Semarang, 4 Mei 2000.
Ditjen Perikanan Tangkap, 2002. Bahan Dialog Perikanan
Tangkap dengan Sub Komisi Kelautan Dan Perikaan DPRRI. DKP.Jakarta.
Kusnadi, 2000. Konflik Sosial Nelayan :
Kemiskinan dan Perebutan Sumber daya Perikanan. Penerbit LKiS.
Yogyakarta.hal.81-82
ibid . hal.82 – 83.
Jawa Pos, “Otonomi Daerah Pemicu Konflik”, 30 Oktober
2001.
Makalah Filsafat Sains,. 2002. Konflik Antarnelayan
di Indonesia. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Kusnadi, op.cit. hal. 84
Indriyanto, Edi. 2000. Mitos Orang Kalah : Orang
Laut dan Pola Pemukimannya. Antropologi Indonesia Tahun XXIV No. 61 edisi
Januari – April 2000. Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan
Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Christy, F.T. 1987. Hak Pengusahaan Wilayah Pada
Perikanan Laut : Definisi dan Kondisi, dalam Ekonomi Perikanan. Yayasan
Obor Indonesia. Jakarta.
Beliau adalah pakar kelautan Jawa Timur.
Jawa Pos, 31 Oktober 2001.
Kamiso. 2000.”Pengelolaan Sumber daya Hayati di
Wilayah Pesisir Pantai”. Makalah dalam Semiloka Pemberdayaan Pesisir dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, DELP, pada tanggal 19 – 20 Mei di Cilacap.
Beliau adalah Dirjen Perikanan Tangkap Departemen
Kelautan dan Perikanan.
Jawa Pos, 31
Oktober 2001.
Diamar, Son. 2001. Pembangunan Daerah Berbasis
Kelautan, disampaikan pada Forum URDI tanggal 21 Maret 2001.
Prediksi berasal dari Ditjen Perikanan Tangkap tahun
2002 berdasarkan data Potensi dan JTB menurut Kelompok SDI, KepMen Pertanian
No. 995/Kpts/IK.210/9/99
Istilah ini menunjukkan bahwa jumlah rata-rata dari
hasil tangkap melebihi dari potensi sumber daya ikan yang ada di wilayah
perairan.
Dikutip dari Makalah Fislsafat Sains,. 2002. Konflik
Antarnelayan di Indonesia. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Darus, M dan Hermayulis. 2000. Makalah Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat Atas Perairan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah,
disampaikan dalam Sarasehan Nasional Dewan Maritim Indonesia tanggal 28-29 Juli
2000 di Jakarta.
Kamiso. 2000. Pengelolaan Sumber Daya Hayati di
Wilayah Pesisir Pantai. Makalah dalam Semiloka Pemberdayaan Pesisir dalam
Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, DELP, pada tanggal 19 – 20 Mei di Cilacap.
Karsu Susilo, 2000. Kebijakan Tata Ruang dan
Pengembangan Wilayah dalam Mendukung Pembangunan Kelautan dan Perikanan.
Rakornas DELP, Jakarta 25 – 26 April 2000.
lihat, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002.
Evaluasi PKPS-BBM 2002 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Dep. Kelautan
dan Perikanan, Jakarta
Departemen Kelautan dan Perikanan 2002. Evaluasi
Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan.
Jakarta.
Ditjen Perikanan Tangkap, 2002. Bahan
Dialog Dirjen Perikanan Tangkap dengan Sub Komisi Kelautan dan Perikanan
DPR-RI. DKP, Jakarta.
http://ferragusta.wordpress.com
konflik-pemanfaatan-sumber-daya-perikanan-laut-kasus-nelayan-di-perairan-utara-jawa-timur
(Diakses pada 18.06
tanggal 19 September 2012)
http://suadi.staff.ugm.ac.sinopsis-buku-pengelolaan-sumberdaya-perikanan-laut
Tidak ada komentar:
Posting Komentar