Senin, 18 Februari 2013

DIFERENSIASI SOSIAL


I. PENDAHULUAN
Dalam kenyataan yang ada di dalam masyarakat perbedaan-perbedaan yang terjadi memang secara kodrati telah ada. Perbedaan tersebut yang membuat keseimbangan dan kedinamisan dalam hidup bermasyarakat. Dengan perbedaan-perbedaan yang ada tersebut akan menyebabkan pembagian tugas di dalam masyarakat untuk memenuhi kebutuhan hidup. Perbedaan-perbedaan dalam masyarakat tersebut ada yang bersifat vertical maupun horizontal. Pada kesempatan ini kami akan membahas dan memaparkan perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam masyarakat yang bersifat horizontal daln biasa disebut diferensiasi sosial.
Dalam diferensiasi sosial perbedaan-perbedaan tersebut mempunyai derajat yang sama dan seyogyanya saling menghormati dalam perbedaan-perbedaan tersebut. Namun pada kenyataannya perbedaan yang terjadi pada masyarakat tersebut sering menyebabkan terjadinya konflik.
Konflik-konflik tersebut dapat terjadi karena adanya diferensiasi sosial dalam hal agama, etnik, ras, jenis kelamin, dan lain sebagainya. Sehingga pada kesempatan kali ini kami ingin mengkaji dan menganalisis permasalahan-permasalahan yang terkait dengan diferensiasi sosial pada masyarakat dengan harapan menemukan perpecahan masalah yang dapat diterapkan dan berguna dengan baik. Oleh karena itu pada makalah ini kami mencoba mengulas sedikit mengenai Differensiasi Sosial yang ada di lingkungan sekitar.
Apakah dilingkungan sekitarmu masih terdapat orang yang memiliki ciri khas dari masing-masing daerah yang berbeda? Jawabannya pasti ada. Setiap daerah pasti memiliki ragam kebudayaan yang berbeda dan memiliki ciri khas dari masing-masing daerah tersebut. Apalagi sekarang merupakan zaman globalisasi dan memungkinkan setiap orang dapat berpindah tempat, selain itu juga dapat memungkinkan terjadinya DIFERENSIASI SOSIAL diantara masyarakat.
Kalau tidak percaya, sekarang coba perhatikan lingkungan sekitarmu! Apakah kamu tahu berasal dari mana mereka? Apa mata pencaharian mereka? Mungkin kita hanya memgetahui sedikit tentang mereka. Nah disini kita akan membahas hal-hal yang berkaitan dengan DEFERENSIASI SOSIAL dalam masyarakat (Sutomo dkk. 2009).

II. PEMBAHASAN
Coba perhatikan disekitar tempat tinggal anda ! Tentu sangan beragam, bukan ? ada pria dan wanita. Ada yang berkulit putih, ada yang berkulit sawo matang, dan ada yang berkulit hitam. Ada yang beragama Islam, Katolik, Protestan, Hindu atau Budha. Ada pula yang berprofesi sebagai doketer, Guru, Dosen, Editor, Buruh Bangunan, Pegawai Pemerintah, Petani, Pedagang, Karyawan Pabrik, atau Karyawan Bank. Ada pula yang mungkin berasal dari suku Batak, Jawa, Flores, Minangkabau, Toraja, Bugis, Ambon, Dayak, atau Papua.
Dapatkah anda menilai dari perbedaan-perbedaan jenis kelamin, agama, pekerjaan, ras, dan etnis diatas berdasarkan tingkatan unggul tidaknya atau tinggi rendahnya perbedaan tersebut ? tentu sangatlah sulit. Tidak ada satu pun bukti yang menunjukkan bahwa pria lebih unggul dari wanita atau orang yang berwarna kulit putih lebih unggul daripada orang berkulit hitam. Demikian pula tidak ada bukti yang bisa menunjukkan bahwa satu agama lebih tinggi dari pada agama lainnya.
Oleh karena itu, dalam sosiologi, pengelompokan atau klasifikasi perbedaan masyarakat seperti ini tidak bisa dilakukan secara vertikal (tinggi rendah), tetapi dibuat secara horizontal. Klasifikasi masyarakat secara horizontal inilah yang disebut sebagai diferensiasi sosial.
Menurut kamus sosiologi, diferensiasi adalah klasifikasi atau penggolongan terhadap perbedaan-perbedaan tertentu yang biasanya sama atau sejenis. Pengertian sama disini menunjuk pada klasifikasi masyarakat seccara horizontal, mendatar, atau sejajar. Asumsinya adalah tidak ada golongan dari pembagian tersebut yang lebih tinggi dari pada golongan lainnya, walaupan dalam kenyataanya terhadap kelompok masyarakat tertenti yang menganggap golongannya lebih tinggi dari pada yang lain.
Contohnya, kaum rasis di Afrika Selatan menganggap golongan warga masyarakat kulit hitm dan berwarna berada dibawah lapisan golongan masyarakat kulit putih. Paham seperti ini disebut Realisme. Dengan paham ini, orang menganggap golongan atau budaya sendiri lebih tinggi dibandingkan budaya lain (Saptono, Bambang, 2006).
Dalam masyarakat beragam (Plural society), pengelompokkan horizontal yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis, (suku bangsa), klan, dan agama disebut dengan istilah kemajemukan sosial.

Kemajemukan sosial ditandai dengan adanya perbedaan berdasarkan hal-hal berikut.
1.   Berdasarkan ciri fisik
Diferensiasi ini timbul karena perbedaan ciri-ciri fisik tertentu. Misalnya, warna kulit, bentuk rambut, bentuk mata, bentuk hidung, dan bentuk rahang. Ciri-ciri fisik seperti itu disebut ciri-ciri fenotip kuantitatif.
 2.   Berdasarkan ciri sosial
Diferensiasi ini timbul karena adanya perbedaan pekerjaan yang menimbulkan perbadaan cara pandang dan pola perilaku dalam masyarakat. Termasuk didalam kategori ini adalah perbedaan peranan, pretise, dan kekuasaan. Contohny, pola perilaku seorang tentara akan berbeda dengan seorang guru (Saptono, Bambang, 2006).
3.   Berdasarkan ciri budaya
Diferensiasi budaya berhubungan erat dengan pandangan hidup suatu masyarakat menyangkut nilai-nilai yang dianutnya, seperti religi, sistem kekeluargaan, keuletan, dan ketangguhan. Hasil dari nilai-nilai yang dianut suatu masyarakat dapat kita lihat dari pakaian adat, bahasa, kesenian, arsitektur, dan agama.

Bentuk-Bentuk Diferensiasi Sosial
Kita dapat membagi masyarakat kedalam enam kriteria, yakni ras, suku bangsa, klan, agama, profesi, dan jenis kelamin.

A.  Difensiasi ras
Ras adalah suatu kelompok manusia yang memiliki ciri-ciri fisik bawaan yang sama. Apabila kita menyebut satu kelompok ras tertentu, maka ciri yang kita kemukakan adalah ciri fisiknya, bukan ciri budayanya. Secara garis besar, manusia dibagi kedalam tiga kelompok ras utama berikut.
1.   Ras Mongoloid (berkulit kuning dan cokelat)
2.   Ras Negroid ( berkulit hitam)
3.   Ras Kaukasoid) (berkulit putih)
Menurut Ralph Linton, manusia didunia dibagi menjadi tiga kelompok ras besar, yakni ras Mongoloid, Kaukasoid, dan Negroid. Diluar ras pokok ini, terdapat ras khusus, seperti Austroloid, veddoid, Polynesia, dan Ainu.
1.   Ras Mongoloid
Memiliki ciri-ciri kulit warna kuning sampai sawo matang, ramput lurus, bulu badan sedikit, dan mata sipit (terutama Asia Mongoloid). Ras Mongoloiddibagi menjadi dua :
a.   Mongoloid Asia
Mongoloid Asia terdiri dari subras Tionghoa (terdiri dari Jepang, Taiwan dan Vietnam) dan subras Melayu.
b.   Mongoloid India
Terdiri dari orang-orang Indian di Amerika
 2.   Ras Kaukasoid
Memiliki ciri fisik hidung mancung, kulit putih, rambut pirang sampai cokelat kehitam-hitaman, dan kelopak mata lurus. Ras ini terdiri dari lima subras, yaitu Nordic, Alpin, Mediteran, Armenoid, dan India (Subakti, A. Ramlan dkk, 2011).

3.  Ras Negroid
Memiliki ciri fisik rambut keriting, kulit hitam, bibir tebal, dan kelipak mata lurus. Ras ini dibagi menjadi lima subras yaitu,

a.   Negrito
b.   Nilitz
c.   Negro Rimba
d.   Negro Oseanis
e.   Hotento-Boysesman

A.L Kroeber membuat klasifikasi manusia berdasarkan ras sebagai berikut.
1.   Ras Austroloid
Mencakup penduduk asli Australia (Aborigin)
2.   Ras Mongoloid mencakup :
a.   Asiatic Mongoloid (Asia Utara, Asia Tengah, dan Asia Timur)
b.   Malayan Mongoloid (Asia Tenggara, Indonesia, Malaysia, Filipina, dan penduduk Asli Taiwan)
c.   American Mongoloid (penduduk asli Amerika)
3.   Ras kaukasoid mencakup :
a.   Nordic (Eropa Utara, sekitar laut Baltik)
b.   Alpine (Eropa Tengah dan Eropa Timur)
c.   Mediteranian (sekitar laut Tengah, Afrika Utara, Armenia, Arab, dan Iran)
d.   Indic (Pakistan, India, Bangladesh, dan sri Langka)
4.   Ras Negroid mencakup,
a.   African Negroid (Benua Afrika)
b.   Negrito (Afrika Tengah, Semenanjung malaya, yang dikenal dengan orang Semang, Filipina)
c.   Melenesian (Irian, melenesia)
5.   Ras-ras khusus (tidak dapat diklasifikasikan dalam keempat ras pokok), yaitu :
a.   Bushman (gurun Kalahari-afrika Selatan)
b.   Veddoid (Pedalaman Sri Langka, dan Sulawesi Selatan)
c.   Polynesian (Kepulauan Micronesiadan Polynesia)
d.   Ainu (dipulau Karafuto dan Hokaido, jepang)

 Setiap ras memiliki karakteristik berbeda. Namun demikian, perbedaan fisik manusia sangatlah sedikit (dibandingkan dengan makhluk lain seperti hewan). Kebanyakan ilmuwandewasa ini berpendapat bahwa semua ras termasuk dalam satu rumpun yang merupakan hasil dari proses evolusi. Misalnya, perkembangan manusia purba, seperti Pithecanthropus Erectus yang memiliki ciri fisik yang berbeda dari manusia sekarang.
1.   Kondisi geografis dan iklim
Orang yang hidup di daerah dingin akan memiliki hidung yang bentuknya panjang dan menonjol. Bentuk seperti ini akan sangat membantu mereka untuk memanaskan dan melembabkan udara sebelum masuk ke paru-paru. Sedangkan, orang yang hidup di daerah tropis cenderung memiliki hidung yang lebih lebar.
2.   Faktor Makanan
Perbedaan jenis makanan akan menimbulkan variasi-variasi sosok tubuh. Orang yang sosok tubuh besar cenderung dapat dijumpaipada daerah yang berhawa dingin, seperti pada daerah bumi berlahan utara. Sebaliknya, orang-orang daerah tropis cenderung bertubuh kecil dan pendek.
3.   Faktor Perkawinan
Pada saat ini sangatlah tidak mudah utuk menentukan bahwa ras yang sama memiliki ciri fisik yang sama. Hal ini disebabkan mobilitas masyarakat yang demikian besar. Hal tersebut memungkinkan terjadinya pembauran atau perkawinan campur (amalgamasi). Misalnya, ras Kaukasosid yang kawin dengan ras Negroid cenderung memiliki anak dengan warna kulit putih atau gelap.

Dalam masyarakat kita, hasil algamasi sering juga disebut dengan istilah Indo. Di Amerika Selatan dan Tengah hasil amalgasi antara ras Kaukasoid dan suku American Mongoloid dikenal dengan sebutan mestizo. Misalnya, orang India-Asia memiliki tipologi fisik ras Mongoloid, namun bentuk wajahnya ras Kaukosoid. Demikian juga orang Ainu yang mendiami Jepang bagian Utara. Bentuk wajahnya Mongoloid namun kulit dan rambutnya khas ras Kaukasoid.
Pada saat ini amalgamasi banyak terjadi dimasyarakat sehingga sulit untuk menemukan adanya suatu kelompok yang memiliki ras yang “asli”. Contohnya, penduduk Hawaii selain dihuni oleh penduduk asli, juga banyak dihuni oleh pendatang, baik orang Kaukasoid (kulit Putih), orang Amerika, maupun orang Asia. Tidak jarang ras-ras ini saling berbaur (kawin) sehingga terjadi begitu banyak variasi ras (Subakti, A. Ramlan dkk, 2011).
B.  Diferensiasi Suku Bangsa (Etnis)
Suku bangsa merupakan hasil proses dari sistem kekerabatan yang lebih luas. Masyarakat dalam sistem kekerabatan ini tetap percaya bahwa mereka memiliki ikatan darah dan berasal dari nenek moyang yang sama.
Jumlah suku di Indonesia saat ini sulit diperkirakan. Tiap peneliti memiliki perbedaan pandangan dan jumlah data tentang jumlah suku bangsa Indonesia. Menurut C. Van Vollen Houven, jumlah suku bangsa di Indonesia adalah 316 buah, sedangkan menurut Prof. Dr. Koentjaraningrat sekitar 119 buah.
Suku bangsa di Indonesia, secara garis besar adalah sebagai berikut.
1.   Di Pulau Sumatera ada suku bangsa Aceh, gayo, Btak, Mandailing, Medan, Padang, Minangkabau, Bengkulu, Jambi, Palembang, Melayu, Enggano, Mentawai, dan Nias.
2.   Di Pulau Jawa ada suku bangsa Sunda, Jawa, Tengger, Madura, Bawean, Tambur, Banten, dan Betawi.
3.   Di Pulau Kalimantan ada suku bangsa Dayak, Bulungin, dan Banjar.
4.   Di Pulau Sulawesi ada suku bangsa Bugis, Makassar, Luwu, Mandar, To Seko, Banjau, Sangir, Toraja, Toli-toli, Minahasa, Bolaang Mongondow, dan Gorontalo.
5.   Do Kepulaun Nusa Tenggara ada suku Nadsa Bali, Bima, Sasak, Lombok, manggarai, Ngada, Ende Lio, Dompu, Timor, dan Rote.
6.   Di Kepulauan Maluku dan Pulau Papua ada suku bangsa Ternate, Tidore, Dani, Waigeo, Biak, Yapen, dan Asmat.
Keanekaragaman suku bangsa di Indonesia juga menyangkut keanekaragaman budayanya. Hal ini meliputi perbedaan adat istiadat, religi, bahasa, dan keseniannya. Namun, tidak ada perbedaan fisik yang begitu besar antara suku-suku bangsa di Indonesia. Hal ini dapat disebabkan oleh kesamaan ras, akibat proses amalgamasi (kawin campur), dan migrasi penduduk ((Subakti, A. Ramlan dkk, 2011).
Meskipun suku-suku bangsa ini tinggal di tempat yang berjauhan dan memiliki banyak perbedaan, mereka memiliki dasar-dasar persamaan berikut.
1.   Dasar kehidupan sosial yang sama berdasarkan asas kekerabatan (kekeluargaan)
2.   Asas-asas yang sama dalam hak atas tanah (hak kepemilikan tanah)
3.   Asas-asas persamaan dalam hukum adat
4.   Sama-sama memiliki suatu perserikatan dan bentuk hubungan yang tidak dibuat tetapi terjadi, yaitu lembaga adat istiadat penduduk asli.
 C.  Diferensiasi Klan
Klan sering juga disebut kerabat, keluarga besar, atau keluarga luas. Klan merupakan kesatuan genealogis (kesatuan keturunan), religio magis (kesatuan kepercayaan), dan tradisi (kesatuan adat).
Klan bersifat religio magis. Sifat religio magis pada klan tercermin dalam pandangan mereka terhadap kesakralan hubungan kekeluargaan klan. Hubungan sakral tersebut ditandai dengan loyalitas mereka terhadap tradisi leluhur. Misalnya, pada masyarkat batak, apabila ada peristiwa kelahiran, perkawinan, atau kematian, semua anggota semarga (Batak) mempunyai tanggung jawab dalan melaksanakan upacara adatnya. Untuk itu, biasanya diadakan pertemuan anggota klan. Keputusan-keputusan diambil berdasarkan pada persetujuan anggota klan. Hal ini menunjukkan keeratan hubungan antaranggota klan.
Klan juga merupakan kesatuan genealogis. Kesatuan genealogisadalah kesatuan ikatan darah atau keturunan yang sama, yakni dari garis keturunan ayah (Patrilineal) atau garis keturunan ibu ( matrilineal). Pada masyarakat Batak, misalnya klan didasarkan pada garis keturunan ayah yang disebut marga. Pada masyarakat Minangkabau, klan didasarkan garis keturunan ibu yang disebut paruik (Subakti, A. Ramlan dkk, 2011).

Dalam masyarakat Indonesia terdapat dua bentuk klan utama, yakni klan atas dasar garis keturunan ibu dan klan atas dasar garis keturunan ayah.
1.   Klan atas dasar garis keturunan ibu ( matrilineal, terdapat antara lain pada masyarakat Minangkabau. Klannya disebut suku yang merupakan gabungan dari kampuang-kampuang. Nama –nama klan di Minangkabau, misalnya, Chaniago, Piliang, Koto, Sikumbang, Dalimo, Kampai, dan Solo.
Masyarakat ngada di Flores juga menganut sistem seperti ini.
2.   Klan atas dasar garis keturunan ayah ( patrilineal) antara lain terdapat pada masyarakat batak dengan sebutan marga. Marga Batak Karo antara lain adalah Ginting, Sembiring, Tarigan, Parangin-angin, Singarimbu, Barus, dan Tambun. Batak Toba antara lain adalah Siregar, Simatupang, dan Nababan. Batak Mandailing antara lain adalah Nasution, Batubara, Harahap, Rangkuti, dan Daulay.
Pada masyarakat Minahasa klan disebut Fam, seperti Mandagi Lasut, Tombokan, Paat, Pangkerego, dan Supit. Pada masyarakat Ambon, klan juga disebut Fam seperti pattinasaran, Latuconsina, Latul, dan manuhut. Pada masyarakat flores, klan juga disebut Fam, seperti Fernandes, Wangge, Pereira, Leimena, De Rosari, Da Costa, dan Kleden.
 D.  Diferensiasi Agama
Manusia pada prinsipnya adalah makhluk yang memiliki rasa kagum terhadap sesuatu yang dianggap lebih hebat dari dirinya. Adanya petir yang dahsyat, banjir, dan gunung meletus yang menakutkan membuat manusia percaya tentang adanya kekuatan luar dirinya (supranatural) yang bersifat gaib. Berdasarkan pengalaman dan pengetahuannya itu, manusia kemudian memiliki kepercayaan atau agama yang berbeda-beda. Keyakinan ini berkaitan dengan pengalaman hidupnya. Atas dasar itu, kita sangat sulit menyatakan bahwa kepercayaan atau agama lebih baik dari kepercayaan atau agama lain.
Di Indonesia, kita mengenal agama Islam, Kristen Katolik, Kristen Protestan, Hindu, dan Budha. Disamping itu, berkembang pula agama atau kepercayaan lain, seperti Kong Hu Chu, dan aliran kepercayaan kaharingan.
Dalam perkembangannya, agama mempengaruhi masyarakat. Sebaliknya masyarakat juga mempengaruhi agama sehingga terjadi sebuah interaksi yang dinamis.
 E.  Diferensiasi Jenis Kelamin
Walaupun tidak tepat diklasifikasikan atas dasar tingkatan (laki-laki berada pada lapisan atas dan perempuan pada lapisan bawah), pada masyarakat tertentu, perbedaan jenis kelamin juga menentukan tingkatannya. Misalnya pada masyarakat patrilineal, laki-laki umumnya menduduki posisi lebih tinggi dari pada perempuan.
Hal ini biasanya berkaitan dengan hak dan kekuasaan. Pada masyarakat Manggarai (Flores), misalnya, pembagian tanah warisan hanya diperuntungkan bagi anak laki-laki. Karena itu, anak laki-laki sering disebut sebagai ata one (orang dalam). Sementara, anak perempuan dianggap sebagai ata peang (orang luar) yang harus mengikuti suaminya. Demikian halnya dalam aspek kekuasaan. Pada masyarakat Manggarai, jabatan kepala adat atau tuo golo hanya bisa ditempati oleh kaum laki-laki (Subakti, A. Ramlan dkk, 2011).
 F.  Diferensiasi Profesi
Diferensiasi profesi merupakan pengelompokkan masyarakat yang didasarkan pada jenis pekerjaan atau profesinya. Profesi dalam kehidupan sehari-hari sering disebut dengan pekerjaan. Profesi biasanya berkaitan dengan suatu keterampilan khusus, seperti membajak dan memilih bibit yang unggul.
Berdasarkan perbedaan profesi kita mengenal kelompok masyarakat berprofesi sebagai guru, dokter, pedagang, tentara, pegawai negeri, buruh, dan sebagainya. Jenis profesi pada masyarakat pedesaan tentu tidak sekompleks atau sebanyak jenis pekerjaan pada masyarakat perkotaan.
Hal ini tentu berkaitan dengan perkembangan dan kebutuhan masyarakat itu sendiri. Contohnya, pada masyarakat perkotaan dikenal adanya profesi pramusiwi (baby sister) sebagai konsekuensi seorang istri yang bekerja. Perbedaan profesi biasanya juga akan berpengaruh pada perilaku sosialnya. Contohnya, perilaku seorang tentara akan berbeda dengan seorang guru ketika keduanya melaksanakan pekerjaannya (Sutomo dkk, 2009).
 
KESIMPULAN
Diferensiasi sosial adalah pengelompokan masyarakat secara horisontal berdasarkan ciri-ciri tertentu. Sehingga diantara perbedaan-perbedaan yang terjadi dalam diferensiasi soaial ini mempunyai tingkat derajad yang sama diantara perbedaan-pebedaan tersebut. Contoh diferensiasi sosial yaitu Agama, Jenis Kelamin, Profesi, Ras, Etnik, dan lain sebagainya. Dalam diferensiasi sosial tidak jarang menimbulkan motivasi terjadinya konflik sehingga untuk menekan konflik tersebut perlu adanya sikap toleransi yang tingi dalam masyarakat.
Dalam masyarakat beragam (Plural society), pengelompokkan horizontal yang didasarkan pada perbedaan ras, etnis, (suku bangsa), klan, dan agama disebut dengan istilah kemajemukan sosial.

DAFTAR PUSTAKA
Subakti, A. Ramlan dkk. 2011. Sosiologin Teks Pengantar dan Terapan. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Saptono, Bambang. 2006. Sosiologi. Jakarta: Phibeta
Sutomo dkk. 2009. Sosiologi. Malang: Graha Indotama














'' KONFLIK PENGELOLAAN SDP''


'' KONFLIK PENGELOLAAN SDP''


BAB I
PENDAHULUAN

Sumberdaya ikan masih berperan penting sebagai sumber mata pencaharian, lapangan kerja, dan protein ikan bagi beberapa negara. Diperkirakan peningkatan jumlah penduduk dunia dan kebutuhan akan bahan pangan dan gizi yang lebih baik akan mendorong peningkatan permintaan produk ikan. Apalagi negara-negara di Asia selain menjadi produsen ikan terbesar juga menjadi konsumen utama dari hasil perikanan. Di satu sisi, peran ekonomi dan sosial pemanfaatan sumberdaya ikan nampak masih sangat besar, sehingga telah memberikan ruang bagi pengembangan perikanan lebih luas khususnya perikanan laut yang secara kuantitafi produksinya mencapai lebih dari 70% total produksi ikan di Indonesia.
Di sisi lain, kelangkaan dan kerusakan sumberdaya ikan dan habitatnya semakin meluas, yang dikhawatirkan pada gilirannya berimbas pada berbagai permasalahan sosial, ekonomi, dan lingkungan. Menurut data FAO diperkirakan lebih dari 60% stok ikan dunia telah diekploitasi pada tingkat penuh sampai tingkat rusak (depleted), dan diantaranya tidak lebih dari 1% yang pulih kembali. Trade-off antara ekonomi dan konservasi sumberdaya ikan dikhawatirkan akan terus meningkat jika sumberdaya ini tidak dikelola secara bijaksana, apalagi gairah membangun perikanan dan kelautan saat ini sedang memuncak. Pertimbangan-pertimbangan tersebut meliputi pertimbangan biologi, ekonomi, dan sosial sehingga melahirkan berbagai model pengelolaan perikanan.
Sementara, dampak dari kebijakanan pengelolaan perikanan yang selama ini berkembang hanya berbasis pada spesies target (tunggal), telah meninggalkan permasalahan baru bagi spesies target, spesies ikan lainnya, dan organsime lain yang memiliki keterkaitan niche dengan jenis tersebut dan lingkungannya. Hal ini menjadi dasar pembahasan khusus Perikanan Multijenis, yang tentu saja menjadi ciri perikanan di daerah tropis seperti Indonesia.
Tentu saja, untuk membangun perikanan secara berkelanjutan perlu kerjasama dari berbagi pihak untuk tidak menggulangi pengalaman kegagalan pengelolaan perikanan di Canada, ketika para politisi menyalahkan ahli perikanan karena berbagai temuan teknologinya, sebaliknya politisi juga dipersalahkan karena kebijakannya yang terus mendorong ke arah eksploitasi, dan pada gilirannya juga nelayan serta industri perikanan menjadi bagian dari saling menyalahkan. 
 
BAB II
PEMBAHASAN
Konflik adalah sikap saling mempertahankan diri sekurang-kurangnya diantara dua kelompok, yang memiliki tujuan dan pandangan berbeda, dalam upaya mencapai satu tujuan sehingga mereka berada dalam posisi oposisi, bukan kerjasama. Konflik dapat berupa perselisihan (disagreement), adanya ketegangan (the presence of tension), atau munculnya kesulitan-kesulitan lain di antara dua pihak atau lebih. Konflik sering menimbulkan sikap oposisi antara kedua belah pihak, sampai kepada tahap di mana pihak-pihak yang terlibat memandang satu sama lain sebagai penghalang dan pengganggu tercapainya kebutuhan dan tujuan masing masing.
Pengelolaan sumberdaya ikan adalah semua upaya termasuk proses yang terintegrasi dalam pengumpulan informasi, analisis, perencanaan, konsultasi, pembuatan keputusan, alokasi sumberdaya ikan, dan implementasi serta penegakan hukum dari peraturan perundang-undangan di bidang perikanan, yang dilakukan oleh pemerintah atau otoritas lain yang diarahkan yang bertujuan agar sumberdaya ikan dapat dimanfaatkan secara optimal dan mencapai kelangsungan produktivitas sumberdaya hayati perairan yang terus menerus.

A. Potensi Sumber Daya dan Pemanfaatannya
Indonesia mempunyai wilayah perairan sebesar 5,8 juta km2, yang terdiri dari 0,3 juta km2 laut teritorial, 2,8 juta km2 perairan nusantara dan 2,7 km2 zona ekonomi ekslusif. Sekitar 70 % wilayah Indonesia berupa laut dengan jumlah pulau lebih dari 17.000 dan garis pantai sepanjang 81.000 Km. Oleh karena itu sumber daya pantai dan laut yang dimiliki Indonesia sangat besar baik yang non hayati seperti bahan tambang dan energi maupun hayati terutama ikan. Potensi sumber daya ikan (SDI) laut diperkirakan sebesar 6,26 juta ton/tahun yang terdiri dari potensi wilayah perairan Indonesia sekitar 4,40 juta ton/tahun dan wilayah Zona Ekonomi Ekslusif Indonesia (ZEEI) sekitar 1,86 juta ton/tahun.
Hasil pengkajian stok (stock assessment) yang dilakukan oleh Pusat Riset Perikanan Tangkap, Badan Riset Kelautan dan Perikanan, Departemen Kelautan dan Perikanan pada tahun 2001, potensi SDI di wilayah perairan Indonesia diperkirakan sebesar 6,40 juta ton per-tahun, dengan rincian 5,14 juta ton per-tahun berasal dari perairan teritorial dan 1,26 juta ton pertahun berasal dari ZEEI. Mengingat besarnya sumber daya yang ada maka pantai dan laut dapat dijadikan sumber pangan dan bahan baku industri.
Pemanfaatan sumber daya perikanan laut memungkinkan terjadi kompetisi baik antara nelayan lokal maupun dengan nelayan pendatang (andon). Kompetisi terjadi dalam penggunaan teknologi alat tangkap juga perebutan sumber daya di lokasi wilayah penangkapan (fishing ground). Hal ini kemudian menjadi potensi konflik yang suatu saat akan mengakibatkan terjadinya konflik terbuka. Pemanfaatan teknologi penangkapan sangat tergantung pada kemampuan modal dan keterampilan nelayan dalam menggunakaannya. Tidak semua lapisan masyarakat dapat memanfaatkan teknologi penangkapan modern. Sementara laut sebagai sumber daya milik bersama (common property resources) tidak memiliki batasan wilayah yang jelas dalam kondisi demikian, sering terjadi benturan atau konflik diantara para nelayan yang sangat tergantung secara ekonomis terhadap laut.
Konflik nelayan terjadi diantara kelompok nelayan yang menggunakan sumber daya alam yang sama dengan penggunaan alat tangkap yang sama pula atau diantara para nelayan yang menggunakan peralatan tangkap yang berbeda pada daerah penangkapan yang sama. Konflik seperti demikian yang sering terjadi perairan utara Jawa Timur.

B. Konflik Antar Nelayan
Pesisir utara Jawa Timur yang membentang dari Kabupaten Tuban hingga Kabupaten Situbondo juga wilayah pesisir Pulau Madura. Konflik antar kelompok nelayan dalam memperebutkan sumber daya perikanan terjadi di beberapa daerah. Kasus di perairan Bangkalan dimana dua kelompok nelayan terlibat bentrok fisik akibat berebut daerah penangkapan ikan. Peristiwa ini terjadi pada tanggal 12 Juli 1995 di perairan Karang jamuang, Bangkalan utara. Konflik terjadi antara nelayan lokal dengan nelayan Lamongan. Terjadilah pembakaran perahu-perahu nelayan Lamongan oleh nelayan Bangkalan, karena menganggap wilayah perairan tersebut adalah milik mereka sejak turun temurun dan melarang nelayan Lamongan untuk menangkap lagi di perairan mereka. Kasus serupa terjadi pula di perairan Sidoarjo, dimana bentrok antara nelayan Pulau Mandangin sampang dengan Nelayan Kisik, Pasuruan yang disebabkan perebutan lokasi penangkapan udang.
Kasus penggunaan alat tangkap terjadi di Perairan Probolinggo, Pasuruan dan Lamongan. Di Probolinggo, nelayan asal Kalibuntu, Kraksan terlibat bentrok dengan nelayan Pulau Gili Ketapang yang disebabkan penggunaan alat tangkap mini trawl untuk menagkap ikan. Sementara di Pasuruan, bentrokan terjadi antara nelayan Kecamatan Lekok dengan nelayan Kisik, Kalirejo Kecamatan Kraton dengan kasus yang sama. Di Lamongan, ratusan nelayan Paciran menghancurkan fasilitas publik, seperti kantor Camat, Mapolsek, dan Makoramil karena menganggap Pemkab Lamongan tidak segera mengatasi nelayan yang menggunakan alat tangkap mini trawl yang telah berlangsung lama. Mereka beranggapan kehadiran alat tangkap ini telah merusak ekosistem laut.
Konflik antarnelayan di perairan Jawa Timur sebenarnya telah berlangsung lama, sejak tahun 70-an. Kejadian di Muncar misalnya, berawal dari kalahnya bersaing antara nelayan tradisional dan nelayan purse seine. Dan pertikaian akibat kecemburuan ini berlangsung hingga tahun 1980-an. Namun sejak tahun 1990-an keadaan konflik bergeser tidak hanya antara tradisional dan nelayan modern seperti kejadian pembakaran purse seine di Masalembu dan Sumenep, tapi juga antarnelayan tradisional.

C. Jenis Konflik dan Faktor yang Mempengaruhinya
Secara umum konflik antarnelayan dapat dikelompokkan menjadi 4 (empat) macam, yaitu :


(1) Konflik Kelas
Konflik kelas atau disebut juga konflik vertikal, yakni konflik antara nelayan perikanan industri dengan nelayan perikanan rakyat. Hal ini biasanya dipicu oleh perbedaan upaya tangkap (effort), yang dicerminkan oleh ukuran kapal dan penerapan teknologi. Pada perikanan industri, kapal yang digunakan berukuran relatif besar dan menerapkan teknologi maju. Sedangkan pada perikanan rakyat, kapalnya lebih kecil dan teknologi yang diterapkan sederhana. Perbedaan ini mengakibatkan timbulnya kecemburuan sosial, karena hasil tangkapan nelayan perikanan industri lebih banyak dibanding perikanan rakyat. Disamping itu, nelayan perikanan rakyat merasa khawatir hasil tangkapannya akan semakin menurun karena sumber daya ikan yang tersedia ditangkap oleh kapal-kapal berukuran besar.
(2) Konflik Orientasi
Konflik orientasi yaitu konflik antara nelayan yang berorientasi pasar dengan nelayan yang masih terikat nilai-nilai tradisional. Nelayan yang berorientasi pasar biasanya mengabaikan aspek kelestarian untuk mendapatkan hasil tangkapan sebanyak-banyaknya. Dalam praktiknya, nelayan tersebut sering menggunakan alat tangkap yang merusak sumber daya ikan dan lingkungannya, misalnya bahan peledak dan bahan beracun. Di sisi lain, sebagian nelayan sangat peduli terhadap kelestarian sumber daya ikan, sehingga mereka menggunakan alat tangkap yang ramah lingkungan.
(3) Konflik Agraria
Konflik agraria yaitu konflik perebutan penangkapan (fishing ground), biasanya terjadi antarnelayan yang berbeda domisilinya. Konflik seperti ini yang sekarang sedang marak, sebagai dampak euforia otonomi daerah.
(4) Konflik Primordial
Konflik primordial terjadi sebagai akibat perbedaan identitas atau sosial budaya, misalnya etnik dan daerah asal. Konflik ini agak kabur sebagai konflik tersendiri, karena seringkali sebagai selubung dari konflik lainnya yakni konflik kelas, konflik orientasi maupun konflik agraria.
Keadaan sumber daya di suatu kawasan dipengaruhi oleh 6 (enam) faktor utama, yaitu:
1.    Pranata pengelolaan sumber daya lokal
2.    Konteks sosial budaya
3.    Kebijakan Negara
4.    Variable teknologi
5.    Tingkat tekanan pasar
6.    Tekanan penduduk

Keenam faktor tersebut mempengaruhi secara langsung terhadap keadaan sumber daya atau yang tidak langsung dengan diperantarai oleh pranata lokal. Upaya pemerintah yang dilakukan lebih berorientasi pada pertumbuhan dari pada pemerataaan yang mengedepankan partisipasi masyarakat sebagai pelaku utama.

Hal ini terjadi saat pemerintahan Orde Baru. Ciri-ciri pembangunan Orde Baru dapat disimak dari:
1.    pola pembangunan yang sentralistik
2.    Negara sangat dominan terhadap masyarakat
3.    pembangunan yang diterapkan secara seragam dengan mengabaikan keanekaragaman atau pluralitas masyarakat dan kebudayaannya
4.    pendekatan yang bersifat mobilisasi lebih diutamakan daripada partisipasi sosial

D.  Penyebab Konflik
Terjadinya konflik di masyarakat nelayan disebabkan salah satunya oleh kondisi kepemilikan bersama sumber daya perikanan laut. Dalam hal ini keikutsertaan bersifat bebas dan terbuka.
Sementara, Daniel Mohammad Rosyid mengungkapkan ada 4 faktor penting yang menyebabkan terjadinya konflik anatara nelayan,yaitu :
1.    Pertama, jumlah nelayan dengan beragam alat tangkap serta ukuran kapal telah meningkat.
2.    Kedua, luas wilayah operasi tidak bertambah luas karena teknologi yang dikuasai tidak berkembang.
3.    Ketiga, telah mengalami kondisi tangkap lebih dan populasi ikan mulai menurun.
4.    Keempat, kesalahan pemahaman atas implikasi dan perumusan Undang-Undang mengenai otonomi daerah yang mengatur kewenangan pengelolaan wilayah perairan laut.
Tiga faktor pertama sebagian dapat disebabkan oleh krisis ekonomi yang telah menimbulkan pergeseran sektor ketenagakerjaan dari manufaktur ke perikanan tangkap. Sementara over kapitalisasi operasi perikanan laut dalam pemanfaatan sumber daya laut bersama, sudah berkurang potensinya. Sedang faktor keempat berkaitan dengan regulasi yang mengatur pengelolaan laut sebagai sumber daya bersama.
 Dari sisi kepentingan, konflik di wilayah pantai menjadi sangat tinggi terutama setelah masuknya masyarakat non lokal yang cenderung memanfaatkan sumber daya pantai secara intensif baik modal maupun teknologi dan kurang memperhatikan kepentingan kelompok atau sektor/subsektor lain terutama masyarakat lokal. Sering terjadi masyarakat lokal justru makin tersisihkan karena tidak mampu bersaing.
Sementara Ibrahim Ismail mengidentifikasi konflik menjadi 2 permasalahan pokok yakni :
1.    Eksternal
2.    Internal.

Konflik terjadi akibat terusiknya kelangsungan usaha masyarakat setempat karena beroperasinya kapal-kapal besar dari daerah sehingga aktivitas keseharian nelayan setempat terganggu. Sedang kasus yang diakibatkan faktor internal adalah konflik penggunaan alat penangkap ikan. Masalah ini yang sering terjadi dibanyak daerah, dimana alat tradisional akan terlindas oleh nelayan yang menggunakan alat yang dimodifikasi dan aktif seperti dogol atau cotok. Konflik tersebut sering kali melibatkan dua kelompok nelayan yang berbeda teknologi untuk memperebutkan daerah dan target penangkapan yang sama.
Keberadaan UU Otonomi Daerah
UU No. 22 Tahun 1999 tentang pemerintahan Daerah mengatur bahwa Pemerintah Propinsi memiliki kewenangan pengelolaan wilayah laut sejauh 12 mil dari garis pantai ke arah laut lepas dan atau ke arah perairan kepulauan, sedangkan pemerintah kota/kabupaten berhak mengelola sepertiganya atau sejauh 4 (empat) mil. Ketentuan itu mencrminkan adanya pergeseran paradigma pembangunan kelautan (termasuk perikanan) dari pola sentralistik ke desentralistik.
Namun, konflik antarnelayan makin marak setelah lahirnya Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 Tentang Pemerintahan Daerah. Namun demikian, karena operasionalisasi desentralisasi pengelolaan wilayah laut belum tergambar secara jelas maka timbul penafsiran yang berbeda-beda baik di kalangan pemerintah daerah maupun nelayan. Gejala ini terlihat dari adanya beberapa pemerintah daerah yang mengeluarkan perijinan di bidang penangkapan ikan yang diluar kewenangannya. Sementara, sebagian kalangan nelayan menafsirkan otonomi daerah dalam bentuk pengkavlingan laut, yang berarti suatu komunitas nelayan tertentu berhak atas wilayah laut tertentu dalam batas kewenangan daerahnya, baik dalam pengertian hak kepemilikan (property rights) maupun pemanfaatan (economic rights). Fenomena ini menyulut timbulnya konflik antarnelayan.
Masalah yang mucul dengan adanya pemberian kewenangan wilayah laut kepada daerah oleh, antara lain:
1.    Tidak sesuai dengan filosofis laut sebagai perekat dan pemersatu sehingga tidak seharusnya boleh dibagi-bagi
2.    Secara teknis akan sulit, karena titik-titik koordinat dan garis-garis batas memang dapat digambarkan pada peta, tetapi pada pelaksanaannya (di laut) tidak mungkin jelas, sehingga dapat menimbulkan kesalahpahaman yang berakhir dengan konflik
3.    Pengertian yang benar mengenai batas dan berbagai implikasinya tidak mudah dipahami, baik oleh masyarakat umum maupun oleh pejabat.
Interprestasi UU No. 22 Tahun 1999 masih kurang jelas. Banyak pihak yang mempertanyakan tentang Wilayah otonomi penangkapan ikan, sementara peraturan pelaksanaan dari UU tersebut belum ada. Sehingga penguasaan wilayah perairan ditafsirkan sebagai bentuk pengkavlingan laut. Sedang pada tingkat nelayan telah menimbulkan konflik horisontal yang amat tajam.
Potensi Sumber daya Ikan versus Jumlah Nelayan
Potensi sumber daya ikan yang besar manajemen perikanan yang menganut asas kehatian-hatian (precautionary approach). Dengan menetapkan JTB (Jumlah Tangkapan yang Diperbolehkan) yang berasal dari perairan territorial dan perairan wilayah serta perairan ZEEI.
Potensi dan JTB di atas dimungkinkan mengalami perubahan ke arah yang positif, yakni terjadi kenaikan.  Asumsi bahwa potensi SDI di perairan Indonesia sebesar 6,40 juta ton pertahun dan JTB sebesar 5,12 juta ton pertahun, maka produktifitas nelayan di Indonesia diperkirakan rata-rata sebesar 1,35 ton/orang/tahun atau ekivalen 6,63 kg/orang/hari (lama melaut 200 hari dalam 1 tahun). Rendahnya produktifitas nelayan tersebut menyebabkan persaingan untuk mendapatkan hasil tangkapan semakin lama akan semakin ketat, karena rezim pengelolaan sumber daya ikan bersifat terbuka (open access).
Kondisi di atas dimungkinkan merupakan salah satu penyebab nelayan di negara kita rentan terhadap konflik. Untuk itu perlu dilakukan langkah-langkah strategis dan komprehensif untuk mengatasi masalah ini, terutama guna melindungi nelayan perikanan rakyat yang merupakan bagian terbesar dari seluruh nelayan dan tingkat kesejahteraannya masih rendah.
Tangkapan Lebih (Over Fishing)
Pada tahun 2001 produksi ikan dari hasil penangkapan di laut mencapai 4,069 juta ton. Tingkat Pemanfaatan SDI di Indonesia telah mencapai 63,49 % dari potensi lestari sebesar 6,409 juta ton pertahun atau 79,37 % dari JTB sebesar 5,127 juta juta ton pertahun. Pemanfaatan tersebut tidak merata untuk setiap Wilayah Pengelolaan Perikanan, di beberapa wilayah pengelolaan telah terjadi over fishing seperti di Laut Jawa dan Selat Sunda (171,72 %).
Terjadinya over fishing telah mendorong nelayan yang biasa menangkap ikan di perairan tersebut melakukan penangkapan ikan di daerah penangkapan (fishing ground) lain yang masih potensial. Hal ini apabila tidak diantisipasi dapat menjadi faktor pendorong timbulnya konflik antara nelayan pendatang dengan nelayan lokal.
Perilaku/Motivasi
Seperti diketahui bahwa sebagian besar nelayan di Indonesia baik nelayan perikanan industri maupun nelayan perikanan rakyat masih terlalu mengejar rente ekonomi dalam memanfaatkan sumber daya ikan. Hal ini mendorong nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya dan mengabaikan aspek-aspek kelestarian, meskipun di beberapa daerah berlaku kearifan-kearifan lokal (local wisdom), pengetahuan lokal dan hukum-hukum adat.
Dampak dari padanya, prinsip-prinsip kanibalisme sering terjadi di laut dan konflik antarnelayan tidak dapat dihindari. Untuk itu ke depan, pembangunan perikanan tangkap harus mampu merubah orientasi nelayan ke arah yang lebih arif dan bijak dalam memanfaatkan sumber daya ikan, guna menjaga kelestarian dan menghindari konflik.
Sosial Ekonomi
Jumlah nelayan kategori miskin pada akhir tahun 2000 diperkirakan mencapai 23.327.228 nelayan. Sumber lain menyebutkan 85 % penduduk di wilayah pantai yang subur dan produktif masih miskin, terutama di wilayah pantai yang tingkat aksesibilitasnya sangat rendah. Sekitar 60 % penduduk tinggal dan menggantungkan hidupnya di wilayah pantai dan laut. Lebih dari 90 % produksi ikan dihasilkan di daerah perairan pantai oleh nelayan tanpa perahu, perahu motor dan perahu motor tempel.
Sampai saat ini kondisi sosial ekonomi masyarakat nelayan di Indonesia masih memprihatinkan. Tingkat pendidikan mereka rata-rata rendah bahkan sebagian tidak berpendidikan, penghasilan tidak menentu, tanpa jaminan kesehatan dan hari tua, tinggal di rumah yang kurang layak dan sebagainya.
Disisi lain, mereka pada umumnya konsumtif dan tidak mempunyai budaya menabung. Masyarakat dengan kondisi sosial ekonomi yang demikian, biasanya emosional, nekat dan mudah dipengaruhi. Permasalahan kecil yang timbul diantara mereka dapat menyebabkan terjadinya pembunuhan. Oleh karena itu mereka sangat rentan terhadap konflik, meskipun penyebabnya seringkali masalah sepele.

E. Upaya Mengatasi Konflik
Dengan memperhatikan aspek sosial-budaya dan kepentingan ekonomi masyarakat nelayan, pemikiran-pemikiran mengatasi konlik perebutan sumber daya perikanan laut tidak mudah dilaksanakan. Prinsip yang harus dikembangkan untuk menghindari konflik adalah strategi pemanfataan sumber daya harus mempertimbangkan pendekatan yang menyeluruh tentang jumlah biaya, keuntungan yang dicapai dari proses eksploitasi. Strategi harus memperhatikan interaksi positif antara kepentingan ekonomi dan lingkungan.
Pemberdayaan Nelayan
Salah satu pemicu timbulnya konflik antarnelayan adalah kondisi sosial ekonomi dan motivasi/perilaku yang ada pada masyarakat nelayan. Untuk itu, agar konflik dapat dihindari maka perlu dilakukan upaya-upaya yang mengarah pada peningkatan kesejahteraan nelayan dan perubahan motivasi/perilaku ke arah yang lebih positif. Upaya tersebut antara lain dapat dilakukan melalui kegiatan pemberdayaan (empowerment). Diharapkan dengan kegiatan pemberdayaan yang dilakukan secara intensif dan berkesinambungan maka konflik antarnelayan dapat dihindari.
Relokasi
Sebagian besar armada perikanan berada di daerah yang padat penduduknya dalam hal ini Pantai Utara Jawa Timur. Kondisi ini menyebabkan perairan di sekitar daerah tersebut mengalami padat tangkap bahkan menunjukkan gejala over fishing. Dampak dari padanya, di perairan tersebut sering terjadi konflik antarnelayan karena perebutan daerah penangkapan (fishing ground). Oleh karena itu perlu dilakukan pemindahan (relokasi) armada dari daerah sekitar perairan yang sudah padat tangkap atau telah menunjukkan gejala over fishing ke perairan lain yang masih surplus tingkat pemanfaatan sumber daya ikannya.
Dengan adanya kegiatan ini maka diharapkan akan terjadi keseimbangan tingkat pemanfaatan di masing-masing Wilayah Pengelolaan Perikanan, sehingga pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara berkelanjutan dan konflik yang disebabkan karena perebutan daerah penangkapan dapat dihindari.
Pengelolaan Perikanan Berkelanjutan dan Berbasis Masyarakat
Sumber daya ikan dapat mengalami degradasi bahkan pemusnahan apabila dieksploitasi secara tidak terkendali, meskipun sumber daya ikan merupakan sumber daya yang dapat pulih (renewable resources). Fenomena ini menimbulkan kekhawatiran sebagian nelayan akan hilangnya mata pencaharian mereka, sehingga memunculkan konflik dengan nelayan yang kurang peduli terhadap kelestarian.
Penerapan manajemen perikanan yang berkelanjutan dan berbasis masyarakat adalah keharusan, agar pemanfaatan sumber daya ikan dapat dilakukan secara terus menerus dari generasi ke generasi. Pelibatan masyarakat secara penuh dalam pemanfaatan sumber daya ikan (perencanaan, pelaksanaan sampai pengawasan termasuk rehabilitasi dan konservasi) dimaksudkan agar seluruh stakeholders merasa memiliki dan bertanggung jawab terhadap kelestarian sumber daya ikan.
Pengembangan Usaha Alternatif
Upaya lain yang dapat dilakukan untuk menghindari konflik antarnelayan adalah pengembangan usaha alternatif, misalnya di bidang budidaya ikan, pengolahan ikan, perbengkelan dll. Dengan adanya usaha alternatif diharapkan nelayan akan memperoleh penghasilan tambahan, sehingga ketergantungan terhadap hasil tangkapan ikan dapat dikurangi dan keinginan nelayan untuk menangkap ikan sebanyak-banyaknya juga dapat ditekan.
Disamping itu, upaya ini dapat juga mengurangi jumlah nelayan kerena beralih profesi ke usaha alternatif yang lebih prospektif. Berkurangnya jumlah nelayan di daerah-daerah yang padat, seperti Pantai Utara Jawa dan Pantai Timur Sumatera juga merupakan solusi untuk menghindari konflik.
Peningkatan Nilai Tambah Ikan Hasil Tangkapan
Selama ini, dalam melakukan usaha penangkapan ikan, nelayan pada umumnya lebih berorentasi pada jumlah (volume) hasil tangkapan, dibanding nilai (value) hasil tangkapan tersebut. Hal ini menyebabkan terjadinya inefisiensi (pemborosan) dalam pemanfaatan sumber daya ikan dan dapat menjadi pemicu timbulnya konflik.
Salah satu upaya yang dapat ditempuh untuk mengatasi masalah tersebut adalah meningkatkan nilai tambah melalui pembinaan mutu. Dengan meningkatnya mutu diharapkan harga jual ikan akan mengalami kenaikan dan pada gilirannya akan merubah orientasi nelayan dari mengejar jumlah tangkapan ke margin pendapatan.
Pengawasan dan Penegakan Hukum
Pemerintah melalui KepMen Pertanian No. 607 Tahun 1975 jo No. 392 Tahun 1999 tentang Jalur-Jalur Penangkapan Ikan telah berupaya agar konflik antarnelayan dapat dihindari. Dalam keputusan tersebut menjelaskan tentang daerah penangkapan ikan di laut dibagi atas 3 (tiga) Jalur Penangkapan.
Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum terhadap keputusan tersebut di atas dapat menghindari terjadinya konflik antarnelayan. Penegakkan aturan hukum yang melarang penggunaan teknologi penangkapan yang merusak lingkungan, yang juga dapat menyebabkan kecemburuan sosial dan meningkatkan kesenjangan pendapatan diantara kelompok nelayan. Penegakan hukum harus dibarengi dengan pengawasan yang ketat, bilamana terjadi pelanggaran peraturan harus ditindak tegas, tentunya aturan hukum yang berkaitan dengan permasalahan ini harus jelas terlebih dulu, agar tidak menimbulkan penafsiran yang berbeda.
 
BAB III
KESIMPULAN
Sumber daya kawasan pesisir dan laut termasuk obyek strategis yang menjadi ajang perebutan kepentingan. Konflik di perkirakan masih akan terus berlangsung. Secara struktural, nelayan di Indonesia rentan terhadap konflik, sehingga perlu ditempuh langkah-langkah untuk mengantisipasi agar konflik antarnelayan dapat dihindari. Berbagai sumbangan pemikiran yang ada masih perlu didiskusikan lebih lanjut, dengan harapan diperoleh solusi yang lebih tepat dan dapat menjadi masukan bagi para pengambil kebijakan dalam pembangunan sektor kelautan dan perikanan.

 
DAFTAR PUSTAKA
       Suboko, B. 2000. Industri Perikanan, Pengelolaan sumber daya Ikan dalam Perspektif Global. Makalah dalam Seminar Nasional Perikanan, Himpunan Mahasiswa Perikanan Indonesia Wilayah III di Semarang, 4 Mei 2000.
Ditjen Perikanan Tangkap, 2002. Bahan Dialog Perikanan Tangkap dengan Sub Komisi Kelautan Dan Perikaan DPRRI. DKP.Jakarta.
Kusnadi, 2000. Konflik Sosial Nelayan : Kemiskinan dan Perebutan Sumber daya Perikanan. Penerbit LKiS. Yogyakarta.hal.81-82
ibid . hal.82 – 83.
Jawa Pos, “Otonomi Daerah Pemicu Konflik”, 30 Oktober 2001.
Makalah Filsafat Sains,. 2002. Konflik Antarnelayan di Indonesia. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Kusnadi, op.cit. hal. 84
Indriyanto, Edi. 2000. Mitos Orang Kalah : Orang Laut dan Pola Pemukimannya. Antropologi Indonesia Tahun XXIV No. 61 edisi Januari – April 2000. Jurusan Antropologi FISIP Universitas Indonesia dan Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Christy, F.T. 1987. Hak Pengusahaan Wilayah Pada Perikanan Laut : Definisi dan Kondisi, dalam Ekonomi Perikanan. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
Beliau adalah pakar kelautan Jawa Timur.
Jawa Pos, 31 Oktober 2001.
Kamiso. 2000.”Pengelolaan Sumber daya Hayati di Wilayah Pesisir Pantai”. Makalah dalam Semiloka Pemberdayaan Pesisir dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, DELP, pada tanggal 19 – 20 Mei di Cilacap.
Beliau adalah Dirjen Perikanan Tangkap Departemen Kelautan dan Perikanan.
 Jawa Pos, 31 Oktober 2001.
Diamar, Son. 2001. Pembangunan Daerah Berbasis Kelautan, disampaikan pada Forum URDI tanggal 21 Maret 2001.
Prediksi berasal dari Ditjen Perikanan Tangkap tahun 2002 berdasarkan data Potensi dan JTB menurut Kelompok SDI, KepMen Pertanian No. 995/Kpts/IK.210/9/99
Istilah ini menunjukkan bahwa jumlah rata-rata dari hasil tangkap melebihi dari potensi sumber daya ikan yang ada di wilayah perairan.
Dikutip dari Makalah Fislsafat Sains,. 2002. Konflik Antarnelayan di Indonesia. Program Pascasarjana IPB. Bogor.
Darus, M dan Hermayulis. 2000. Makalah Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat Atas Perairan dan Pelaksanaan Otonomi Daerah, disampaikan dalam Sarasehan Nasional Dewan Maritim Indonesia tanggal 28-29 Juli 2000 di Jakarta.
Kamiso. 2000. Pengelolaan Sumber Daya Hayati di Wilayah Pesisir Pantai. Makalah dalam Semiloka Pemberdayaan Pesisir dalam Mewujudkan Kesejahteraan Masyarakat, DELP, pada tanggal 19 – 20 Mei di Cilacap.
Karsu Susilo, 2000. Kebijakan Tata Ruang dan Pengembangan Wilayah dalam Mendukung Pembangunan Kelautan dan Perikanan. Rakornas DELP, Jakarta 25 – 26 April 2000.
lihat, Ditjen Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, 2002. Evaluasi PKPS-BBM 2002 Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Dep. Kelautan dan Perikanan, Jakarta
Departemen Kelautan dan Perikanan 2002. Evaluasi Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Pesisir. Departemen Kelautan dan Perikanan. Jakarta.
Ditjen Perikanan Tangkap, 2002.  Bahan  Dialog  Dirjen Perikanan Tangkap dengan Sub Komisi Kelautan dan Perikanan DPR-RI. DKP, Jakarta.
http://ferragusta.wordpress.com konflik-pemanfaatan-sumber-daya-perikanan-laut-kasus-nelayan-di-perairan-utara-jawa-timur (Diakses pada 18.06 tanggal 19 September 2012)
http://suadi.staff.ugm.ac.sinopsis-buku-pengelolaan-sumberdaya-perikanan-laut